logo
CoursesBlogTVAbout
Chat Now
logo

© Copyright 2025 Remote Pilot FASI

Transformasi Medan Tempur Modern dan Dilema Global

Dipublikasikan pada: 2025-07-01

Ketika Langit Menjadi Medan Perang Baru

Drone, atau Sistem Pesawat Udara Tanpa Awak (UAS), telah menjadi salah satu inovasi paling transformatif dalam konflik bersenjata kontemporer. Dari sekadar alat pengintai sederhana, kini drone menjelma menjadi platform tempur presisi yang secara fundamental mengubah dinamika medan perang. Konsep pesawat tanpa awak sejatinya telah ada sejak awal penerbangan, dengan minat militer awal berpusat pada potensi pengintaian dan kemampuan membawa hulu ledak. V-1, bom terbang yang dikembangkan di Jerman selama Perang Dunia II, diidentifikasi sebagai aplikasi militer sejati pertama dari pesawat tanpa awak.

Setelah Perang Dunia II, pengembangan Sistem Pesawat Udara Tanpa Awak (UMA) tumbuh pesat, terutama selama era Perang Vietnam, yang meletakkan fondasi bagi inkarnasi modern yang lebih canggih. Pada awal abad ke-21, drone seperti Predator mulai menarik perhatian media yang signifikan, seringkali dengan kritik yang menyertainya. Saat ini, drone digunakan secara luas untuk kebutuhan Intelijen, Pengawasan, Pengintaian, dan Akuisisi Target (ISTAR), serta peran serangan yang semakin meningkat dalam operasi militer di seluruh dunia.

Perkembangan ini menandai perubahan mendasar dalam paradigma militer, di mana drone telah bertransformasi dari sekadar alat bantu menjadi kekuatan tempur utama. Awalnya, drone berfungsi sebagai platform pengintaian atau pembawa hulu ledak yang sangat spesifik. Namun, seiring waktu, kemampuan mereka berkembang untuk membawa sistem sensor yang lebih canggih, diikuti dengan integrasi sistem senjata yang lebih besar. Konflik asimetris di Irak dan Afghanistan menjadi pendorong utama kemajuan teknologi ini, meningkatkan kebutuhan akan daya tahan misi yang lebih lama dan efek presisi yang lebih tinggi. Kini, drone tidak lagi hanya berfungsi sebagai "mata di langit" atau "pesawat pembawa bom," melainkan menjadi elemen inti dari strategi tempur. Pergeseran ini memungkinkan operasi yang lebih panjang, lebih hemat biaya, dan dengan risiko manusia yang jauh lebih rendah bagi operator. Konsekuensinya, akses terhadap kekuatan udara presisi menjadi lebih terdemokratisasi, memungkinkan lebih banyak negara dan bahkan aktor non-negara untuk terlibat dalam konflik dengan cara yang sebelumnya tidak mungkin, mengubah secara fundamental siapa yang dapat berperang dan bagaimana perang itu dilakukan.

Evolusi dan Ekonomi Drone: Dari Konsep ke Kekuatan Global

Drone, atau Sistem Udara Tanpa Awak (UAS), secara teknis terdiri dari pesawat tak berawak itu sendiri dan komponen operasional yang diperlukan. Ini mencakup platform terbang yang memungkinkan pergerakan tiga dimensi, serta berbagai instrumen yang terpasang seperti kamera resolusi tinggi, perangkat termal dan penglihatan tembus dinding, alat penyadap, sensor inframerah/UV, sistem pemrosesan data (pengenalan wajah, biometrik), radar, dan GPS. Drone dapat dikendalikan dari jarak jauh oleh operator manusia di darat, yang umum untuk drone tempur, atau diprogram untuk penerbangan otonom dengan intervensi manusia hanya untuk keadaan darurat.

Pasar drone militer internasional menunjukkan pertumbuhan yang sangat signifikan. Diproyeksikan akan meningkat dari $11,25 miliar pada tahun 2021 menjadi $26,12 miliar pada tahun 2028, dengan Tingkat Pertumbuhan Tahunan Majemuk (CAGR) sebesar 12,78%. Beberapa perkiraan bahkan menempatkan ukuran pasar pada pertengahan tahun 2020-an setinggi $58,5 miliar. Pada tahun 2020, sistem yang dikendalikan dari jarak jauh mendominasi pasar dengan 85% pangsa, sementara sistem otonom dan semi-otonom menyumbang 15% sisanya. Platform sayap tetap diperkirakan akan mempertahankan pangsa pasar terbesar karena efisiensi, kecepatan terbang, dan daya tahannya yang lama.

Pendorong utama pertumbuhan industri ini adalah kebutuhan akan Intelijen, Pengawasan, Pengintaian, dan Akuisisi Target (ISTAR), seiring dengan peningkatan peran serangan untuk sistem tak berawak. Sejumlah produsen terkemuka pada tahun 2021 termasuk Northrop Grumman, General Atomics, Lockheed Martin, Textron, Boeing, Airbus, IAI, AVIC, CASC, Thales, dan AeroVironment, dengan Elbit Systems dari Israel juga menjadi pemain kunci.

Pergeseran kekuatan pemasok drone global juga menjadi fenomena yang menarik perhatian. Amerika Serikat, meskipun memiliki solusi yang sangat canggih dan teruji tempur, mempertahankan kebijakan ekspor drone yang konservatif. Regulasi penjualan senjata yang ketat dan prosedur birokrasi politik yang kompleks, termasuk persetujuan Kongres, membatasi klien ekspor produsen Amerika. Meskipun AS memegang sekitar 31% pangsa pasar, Tiongkok diperkirakan akan melampauinya pada tahun 2030 dengan CAGR 18,7%.

Israel secara historis mendominasi industri drone militer global, menyumbang sekitar 60% transfer drone di seluruh dunia antara akhir 1990-an dan 2017. Keberhasilan ini dikaitkan dengan kondisi ekspor yang fleksibel dan berorientasi bisnis. Israel adalah pemain terkemuka dalam amunisi berkeliaran (drone kamikaze) dengan sistem seperti 'Harpy' dan 'Harop' dari IAI. Namun, pejabat pertahanan Israel khawatir bahwa kepatuhan terhadap MTCR (Meskipun bukan anggota) membatasi ekspor mereka, memungkinkan Tiongkok dan Turki untuk mendapatkan pangsa pasar.

Tiongkok adalah kekuatan UAS yang sedang berkembang pesat, telah mengekspor 153 drone bersenjata ke 13 negara antara 2014-2018, dan 220 drone tempur ke 16 negara pada 2021. Drone Tiongkok populer di Timur Tengah karena keterjangkauan, syarat pembayaran yang fleksibel, dan kemahiran Beijing dalam rekayasa balik. Kebijakan ekspor Tiongkok telah dikritik karena kurangnya sensitivitas terhadap aspek pengguna akhir, dengan drone Tiongkok dioperasikan oleh pihak-pihak yang tidak memiliki lisensi awal.

Turki adalah eksportir yang sedang naik daun dengan solusi teruji tempur dan profil pembeli yang kaya. Drone-nya terkenal karena efektivitas, keterjangkauan, dan persyaratan yang fleksibel dibandingkan pemasok Barat. Ekspor pertahanan dan kedirgantaraan Turki mencapai sekitar $3 miliar dalam 11 bulan pertama tahun 2021, meningkat 40% dari tahun sebelumnya. Rusia adalah pendatang baru di pasar kendaraan tempur udara tak berawak, namun Moskow berinvestasi pada solusi seperti drone-pemburu Lancet dan mengintegrasikan drone pengintai ke unit artileri untuk tugas pengamat depan.

Proliferasi drone di seluruh dunia berlangsung sangat cepat, dengan perkiraan 100 militer global kini memiliki UAS. Tren ini menunjukkan pergeseran dari pendekatan kontraterorisme ke persaingan strategis dan penggunaan sistematis dalam konflik konvensional. Proliferasi drone di kalangan aktor non-negara, termasuk teroris seperti jaringan PKK, Hamas, dan Hezbollah, menjadi perhatian signifikan karena keterjangkauan, ketersediaan, dan kesederhanaan operasional mereka. Meskipun inisiatif seperti Missile Technology Control Regime (MTCR) bertujuan untuk mengendalikan proliferasi drone, mereka tidak mengikat seperti perjanjian kontrol senjata lainnya dan tidak mencakup semua produsen utama (misalnya, Tiongkok bukan pihak).

Pergeseran ini memiliki implikasi mendalam terhadap dinamika kekuatan militer global. Negara-negara yang secara tradisional bukan pemain utama dalam industri pertahanan kini dapat memperoleh teknologi canggih yang sebelumnya hanya terbatas pada segelintir negara adidaya. Hal ini memberdayakan aktor regional baru, seperti Turki di Kaukasus dan Timur Tengah, dan secara fundamental mengubah keseimbangan kekuatan. Fenomena ini juga menciptakan tantangan baru bagi rezim kontrol senjata internasional yang ada, karena produsen baru tidak selalu terikat oleh perjanjian yang sama, yang dapat mempercepat proliferasi dan destabilisasi regional. "Diplomasi drone," di mana negara-negara membangun ikatan strategis melalui kontrak militer dan penjualan drone, menjadi alat baru yang ampuh untuk meningkatkan pengaruh atas konflik di berbagai belahan dunia.

Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas, berikut adalah data tren pasar dan perbandingan negara pemasok utama:

Tabel 1: Tren Pasar Drone Militer Global

KategoriData
Ukuran Pasar (2021)$11,25 miliar
Proyeksi Ukuran Pasar (2028)$26,12 miliar
CAGR (2021-2028)12,78%
Perkiraan Ukuran Pasar (Mid-2020s)Hingga $58,5 miliar
Pangsa Pasar Teknologi Dominan (2020)Remotely-controlled: 85%; Autonomous/Semi-autonomous: 15%
Produsen Drone Terkemuka (2021)Northrop Grumman, General Atomics, Lockheed Martin, Textron, Boeing, Airbus, IAI, AVIC, CASC, Thales, AeroVironment, Elbit Systems (Israel)

Tabel 2: Perbandingan Negara Pemasok Drone Utama

NegaraKarakteristik Kebijakan EksporPangsa Pasar/TrenContoh Drone/Keunggulan
Amerika SerikatKonservatif, regulasi ketat, persetujuan KongresSekitar 31% pangsa pasar, diperkirakan disalip Tiongkok pada 2030Solusi canggih dan teruji tempur
IsraelFleksibel, berorientasi bisnis, khawatir MTCR membatasi eksporDominan historis (sekitar 60% transfer 1990-2017)Pemain utama amunisi berkeliaran (Harpy, Harop)
TiongkokFleksibel, harga terjangkau, syarat pembayaran mudah, rekayasa balikKekuatan UAS berkembang (220 drone tempur ke 16 negara pada 2021)Populer di Timur Tengah, kebijakan ekspor kurang sensitif end-user
TurkiFleksibel, solusi teruji tempur, efektivitas & keterjangkauanEksportir naik daun (ekspor pertahanan naik 40% pada 2021)Bayraktar TB2, Akinci, Aksungur; pengembang CONOPS sukses
RusiaPendatang baru, berinvestasi pada solusi baruMasih mengembangkan pangsa pasarLancet (drone-pemburu), Orion (pengintai bersenjata)

Efektivitas dan Tantangan Drone dalam Konflik Kontemporer

Drone telah terbukti menjadi pengganda kekuatan yang signifikan dalam konflik bersenjata, terutama ketika digunakan dengan seni operasional yang tepat melawan musuh yang memiliki kekurangan spesifik dalam kemampuan militer mereka. Keunggulan operasional drone meliputi penyediaan intelijen dan pengawasan yang terjangkau, meningkatkan kesadaran situasional melalui aliran data real-time, dan menjadi krusial untuk pengintaian serta serangan presisi di lingkungan yang tidak bersahabat. Selain itu, drone merupakan aset yang efektif untuk meminimalkan korban jiwa di pihak operator.

Studi kasus dari konflik di Suriah dan Karabakh menunjukkan efektivitas drone yang luar biasa. Perang drone terbukti sangat efektif melawan musuh yang kurang memiliki kemampuan fusi sensor yang memadai dan persenjataan anti-drone yang terhubung jaringan. Contohnya termasuk Angkatan Darat Arab Suriah selama Operasi Perisai Musim Semi dan unit pendudukan Armenia selama Perang Karabakh Kedua, yang sebagian besar menggunakan persenjataan era Soviet dan menunjukkan fusi sensor yang tidak memadai. Konflik Rusia-Ukraina juga menjadi studi kasus penting, sebagai perang drone pertama di mana dua negara menggunakan drone dalam jumlah signifikan. Drone di Ukraina telah terbukti mampu bertahan di lingkungan yang diperebutkan, menghindari deteksi dengan terbang pada ketinggian sangat rendah, mirip dengan insiden Mathias Rust. Konflik ini juga menunjukkan kematangan drone sebagai senjata ofensif utama, bukan hanya pendukung, dengan serangan skala besar yang terkadang melibatkan hingga 30 drone individu.

Namun, efektivitas drone sangat bergantung pada dominasi spektrum elektromagnetik (EW). Mempertahankan keunggulan di spektrum elektromagnetik adalah prasyarat penting untuk melancarkan upaya perang drone yang menentukan. Tingkat atrisi (kerugian) untuk sistem tak berawak bisa tinggi, terutama saat beroperasi dalam amplop perang elektronik musuh. Agar drone berhasil dan bertahan melawan tindakan balasan, mengungguli musuh dalam jaringan pertempuran dan spektrum elektromagnetik tetap menjadi prioritas utama.

Tantangan lain yang muncul adalah masalah attritability atau daya tahan dan kerentanan drone. Drone mahal seperti Northrop Grumman MQ-4C Triton, yang bernilai miliaran dolar untuk paket lengkapnya, tidak dapat sering hilang di medan perang. Namun, konflik Ukraina telah menunjukkan pergeseran cepat ke campuran "rendah/lebih rendah" (low/lower mix) dengan drone kamikaze yang murah dan dapat dihancurkan secara massal. Rusia, misalnya, terpaksa membeli drone kamikaze murah dari Iran karena produksi domestiknya tidak dapat mengimbangi tingkat penggunaan yang tinggi. Ukraina menghadapi masalah serupa, membeli drone non-militer (dalam kategori $500-$3000) dan memodifikasinya untuk tempur, yang meskipun berguna untuk ISTAR dasar, memiliki resolusi rendah.

Dilema attritability ini memiliki implikasi signifikan bagi anggaran pertahanan dan strategi perang di masa depan. Kebutuhan mendesak dan keterbatasan sumber daya dalam konflik seperti di Ukraina telah memaksa kedua belah pihak untuk beralih dari drone mahal ke drone murah yang dapat dihancurkan secara massal. Ini bukan hanya tentang kemampuan teknologi canggih, tetapi juga tentang kemampuan produksi massal dan biaya yang memungkinkan kerugian besar tanpa menghabiskan anggaran pertahanan. Pergeseran ini akan membentuk perencanaan anggaran pertahanan di masa depan, mendorong investasi dalam produksi drone yang lebih murah dan dapat dihancurkan. Selain itu, hal ini mengubah strategi serangan, memungkinkan konsep seperti "kawanan dari kawanan" (swarm of swarms) yang menyerupai pengeboman strategis abad ke-21. Yang lebih mengkhawatirkan, ini membuka pintu bagi aktor non-negara untuk mengakses kemampuan ofensif yang signifikan, karena drone murah lebih mudah diperoleh dan diadaptasi, berpotensi menyebabkan destabilisasi global yang lebih luas.

Dimensi Hukum dan Etika: Menjelajahi Kompleksitas Perang Drone

Penggunaan drone dalam konflik bersenjata memunculkan serangkaian pertanyaan hukum dan etika yang kompleks, terutama dalam kerangka Hukum Humaniter Internasional (IHL). IHL secara tradisional dibagi menjadi dua cabang utama: jus in bello, yang mengatur hukum yang berlaku dalam perang (cara perang dilakukan), dan jus ad bellum, yang mengatur justifikasi penggunaan kekuatan oleh negara (kapan perang itu sah). Beberapa pihak berpendapat bahwa pemisahan tradisional ini semakin usang dengan munculnya drone.

Jus ad bellum (Keadilan Sebelum Perang)

Jus ad bellum berkaitan dengan aturan yang mengatur pembenaran penggunaan kekuatan oleh negara. Prinsip-prinsip utamanya meliputi:

  • Tujuan yang Adil (Just Cause): Perang harus memiliki tujuan yang cukup penting untuk membenarkan penggunaan kekuatan militer. Namun, serangan drone sering dikritik karena melanggar prinsip ini. Misalnya, ancaman yang diklaim oleh Al-Qaeda setelah 2009 mungkin tidak cukup substansial untuk membenarkan tindakan perang skala besar, dan banyak target yang dibunuh adalah pemberontak tingkat rendah dengan tujuan lokal, bukan pemimpin Al-Qaeda yang disebutkan.
  • Otoritas yang Sah (Legitimate Authority): Perang harus dideklarasikan oleh otoritas yang sah, menuntut transparansi penuh dan debat publik. Kampanye drone AS, yang sebagian besar dilakukan secara rahasia, dituduh melanggar persyaratan transparansi ini, dengan Kongres gagal menjalankan tanggung jawabnya dalam mengotorisasi penggunaan kekuatan militer yang terbuka.
  • Niat yang Benar (Right Intention): Perang harus dikejar dengan tujuan yang adil sebagai motif utamanya. Meskipun sering dibenarkan sebagai pembelaan diri, serangan drone AS juga dituduh melayani tujuan lain, seperti melemahkan basis dukungan Taliban di Pakistan atau mempertahankan peran hegemoni militer global AS.
  • Upaya Terakhir (Last Resort): Perang harus menjadi upaya terakhir, setelah diplomasi dan langkah non-kekerasan lainnya dipertimbangkan. Kritik terhadap penggunaan drone menunjukkan bahwa alternatif seperti negosiasi atau langkah-langkah penegakan hukum seringkali tidak dipertimbangkan, dan administrasi AS cenderung menghindari penangkapan tawanan.
  • Peluang Keberhasilan yang Wajar (Reasonable Chance of Success): Perang harus memiliki peluang yang masuk akal untuk mencapai tujuan yang dimaksudkan, yang mengarah pada pengurangan ancaman jangka panjang. Serangan drone mungkin mengurangi beberapa ancaman langsung, tetapi dapat memperburuk kondisi ekonomi dan politik, menciptakan ancaman jangka panjang baru, terutama bagi penduduk lokal.
  • Proporsionalitas (Proportionality): Manfaat yang diantisipasi dari mengejar tujuan yang adil secara militer harus sepadan dengan kerugian yang diharapkan. Biaya serangan drone, seperti pelanggaran kedaulatan, kebencian yang timbul, menciptakan lahan rekrutmen baru, dan menetapkan preseden buruk, seringkali lebih besar daripada dampak pencegahan ancaman yang tidak pasti. Korban sipil yang signifikan, dengan antara 416-957 non-kombatan dan hingga 202 anak-anak tewas antara 2004-2013, juga menjadi perhatian serius.

Jus in bello (Keadilan dalam Perang)

Jus in bello mengacu pada hukum yang berlaku dalam perang, mengatur sarana dan metode perang. Prinsip-prinsip dasarnya meliputi Kemanusiaan, Kebutuhan, Proporsionalitas, dan Pembedaan.

  • Kemanusiaan (Humanity): Pilar fundamental IHL yang bertujuan membatasi penderitaan dan kerugian yang tidak perlu. Fokusnya adalah pada senjata yang terpasang pada drone, bukan drone itu sendiri.
  • Kebutuhan (Necessity): Membutuhkan pasukan tempur untuk hanya melakukan tindakan yang diperlukan untuk mencapai tujuan militer yang sah. Drone, dengan teknologi canggihnya, menawarkan penargetan presisi, memungkinkan operator dan penasihat waktu untuk membuat keputusan yang benar, yang dapat secara signifikan mengurangi kekerasan dan korban sipil, sehingga membenarkan penggunaannya berdasarkan kebutuhan.
  • Proporsionalitas (Proportionality): Menuntut penilaian potensi kerusakan dari serangan, memastikan tidak melebihi keuntungan militer. Drone bersenjata memungkinkan penggunaan senjata yang kurang merusak dan kontrol yang lebih besar atas keputusan penembakan, meminimalkan kerusakan kolateral.
  • Pembedaan (Distinction): Mewajibkan pembedaan yang jelas antara kombatan dan non-kombatan, serta antara objek sipil dan militer. Drone, yang dilengkapi dengan amunisi berpemandu presisi dan pencitraan canggih, memungkinkan operator untuk mengidentifikasi individu dengan jelas, sehingga memenuhi prinsip pembedaan dalam praktiknya.

Meskipun klaim tentang presisi teknologi drone sering disampaikan, terdapat disparitas yang mencolok antara presisi teknologi ini dan akurasi moral atau hukum dalam pelaksanaannya. Para pejabat sering mengklaim bahwa drone adalah "senjata paling presisi dalam sejarah perang," namun akurasi teknologi dalam mengenai target tidak sama dengan "akurasi moral" dalam pemilihan target atau meminimalkan korban sipil. Penurunan korban sipil yang terjadi ketika perang drone menghadapi pengawasan publik menunjukkan kurangnya akurasi moral di tahun-tahun sebelumnya. Data juga menunjukkan perbedaan signifikan antara perkiraan korban sipil pemerintah AS dan sumber lain, termasuk laporan PBB, sebagian besar disebabkan oleh kurangnya transparansi data.

Masalah ini diperparah oleh tantangan identifikasi positif (PID) karena sifat musuh yang tidak teratur, salah identifikasi warga sipil sebagai kombatan (terutama kontroversi "pria usia militer" yang dihitung sebagai kombatan kecuali terbukti tidak bersalah setelah kematian), dan penilaian kerusakan pertempuran (BDA) yang tidak akurat dari pengawasan udara. Ini berarti bahwa meskipun drone secara teknis mampu menyerang target dengan sangat tepat, masalahnya terletak pada siapa yang diidentifikasi sebagai target dan bagaimana intelijen dikumpulkan dan dianalisis. Ini menciptakan celah besar antara klaim kepatuhan IHL dan kenyataan di lapangan, merusak legitimasi operasi drone, memicu kebencian, dan berpotensi memicu radikalisasi. Hal ini juga menyoroti perlunya transparansi dan akuntabilitas yang lebih besar dalam seluruh "siklus hidup" operasi drone, bukan hanya pada platformnya.

Berikut adalah daftar terstruktur prinsip-prinsip Hukum Humaniter Internasional (IHL) dalam konteks perang drone:

Prinsip-prinsip Hukum Humaniter Internasional (IHL) dalam Perang Drone

  • Jus ad bellum (Keadilan Sebelum Perang):

    • Tujuan yang Adil (Just Cause): Ancaman harus cukup substansial untuk membenarkan perang.
      • Relevansi Drone: Sering dikritik karena digunakan untuk ancaman di bawah ambang batas perang yang sah, atau terhadap target yang salah diidentifikasi sebagai ancaman utama.
    • Otoritas yang Sah (Legitimate Authority): Perang dideklarasikan oleh otoritas yang diakui dengan transparansi dan debat publik.
      • Relevansi Drone: Kampanye drone sering dilakukan secara rahasia, tanpa otorisasi publik atau debat yang memadai.
    • Niat yang Benar (Right Intention): Perang dikejar dengan motif yang adil.
      • Relevansi Drone: Motif tersembunyi (misalnya, mempertahankan hegemoni militer) dapat mengaburkan niat yang benar.
    • Upaya Terakhir (Last Resort): Semua alternatif non-militer telah diupayakan.
      • Relevansi Drone: Kemudahan penggunaan drone dapat mengurangi insentif untuk mencari alternatif diplomatik atau penegakan hukum.
    • Peluang Keberhasilan yang Wajar (Reasonable Chance of Success): Ada peluang realistis untuk mencapai tujuan dan mengurangi ancaman jangka panjang.
      • Relevansi Drone: Dapat mengurangi ancaman langsung tetapi memperburuk kondisi jangka panjang, menciptakan ancaman baru.
    • Proporsionalitas (Proportionality): Manfaat militer sepadan dengan kerugian yang diharapkan.
      • Relevansi Drone: Biaya (pelanggaran kedaulatan, korban sipil, kebencian) seringkali melebihi manfaat pencegahan ancaman yang tidak pasti.
  • Jus in bello (Keadilan dalam Perang):

    • Kemanusiaan (Humanity): Membatasi penderitaan yang tidak perlu.
      • Relevansi Drone: Fokus pada karakteristik senjata yang terpasang pada drone.
    • Kebutuhan (Necessity): Hanya tindakan yang diperlukan untuk mencapai tujuan militer yang sah.
      • Relevansi Drone: Teknologi presisi dapat memungkinkan pengurangan kekerasan dan korban sipil, membenarkan penggunaan berdasarkan kebutuhan.
    • Proporsionalitas (Proportionality): Kerusakan yang diantisipasi tidak boleh berlebihan dibandingkan dengan keuntungan militer.
      • Relevansi Drone: Memungkinkan kontrol lebih besar atas keputusan penembakan dan minimisasi kerusakan kolateral. Namun, serangan berulang atau "signature strikes" dapat melanggar ini.
    • Pembedaan (Distinction): Membedakan jelas antara kombatan dan non-kombatan, serta objek militer dan sipil.
      • Relevansi Drone: Teknologi pencitraan canggih memungkinkan identifikasi individu yang jelas. Namun, intelijen yang cacat atau "signature strikes" dapat menyebabkan salah identifikasi massal.[1, 1]

Status kombatan dan operator drone juga menjadi perdebatan. Operator drone dianggap sebagai target yang sah, seperti anggota angkatan bersenjata lainnya, karena mereka secara aktif berkontribusi pada operasi militer. Bahkan personel sipil yang dipekerjakan sebagai operator drone kehilangan status perlindungan mereka dan menjadi target militer yang sah. Selain itu, legalitas serangan drone tanpa persetujuan negara teritorial atau justifikasi hukum lainnya (seperti otorisasi Dewan Keamanan PBB atau pembelaan diri) dianggap melanggar hukum berdasarkan Pasal 2(4) Piagam PBB. Meskipun ada kesepakatan rahasia antara negara-negara (misalnya, antara AS dan Pakistan) yang membuat serangan "secara teknis sah," kesepakatan semacam ini seringkali terjadi di bawah paksaan dan dapat merusak kedaulatan serta dukungan lokal.

Fenomena "perang terasing" (alienated war) adalah implikasi sosiopolitik lain yang mendalam dari penggunaan drone. Ini mengacu pada perang sebagai aktivitas kolektif yang tidak lagi membutuhkan pengorbanan publik dan komitmen moral. Drone memfasilitasi hal ini dengan meminimalkan risiko bagi prajurit penyerang, membuatnya mudah digunakan untuk ancaman yang berada di bawah ambang batas just cause yang sah. Perang drone tidak memerlukan dukungan publik aktif dan dapat dilakukan secara rahasia tanpa otorisasi yang tepat dan debat publik. Hal ini meminimalkan pertanyaan publik tentang nilai perang karena sifatnya yang bebas risiko bagi prajurit. Akibatnya, drone dapat menurunkan ambang batas untuk penggunaan kekuatan militer, berpotensi mengarah pada intervensi yang lebih sering dan kurang dipertimbangkan. Ini juga menciptakan jarak moral antara publik dan realitas perang, mempersulit akuntabilitas dan pengawasan demokratis, serta berpotensi memperburuk konflik jangka panjang.

Kontroversi dan Dilema Moral: Sisi Gelap Perang Jarak Jauh

Penggunaan drone dalam perang telah memicu berbagai kritik dan kekhawatiran moral. Beberapa kritikus berpendapat bahwa jarak fisik antara operator dan medan perang mengurangi rasa tanggung jawab operator, dan "videogamifikasi perang" membuat keputusan penggunaan senjata menjadi lebih sembrono. Selain itu, pengembangan drone dan robot militer dikritik karena mendorong politisi untuk berperang, karena operator tetap berada di lingkungan yang aman dan misi yang dipimpin mesin mengurangi kehilangan tenaga kerja dan biaya politik, yang dapat menyebabkan peningkatan intervensi bersenjata. Kekhawatiran lain termasuk potensi "teroris siber" untuk mengambil kendali drone bersenjata dan risiko eksploitasi konflik, di mana ketinggian rendah dan kecepatan drone membuatnya sulit dideteksi, menimbulkan kekhawatiran tentang masuknya wilayah udara yang tidak sah dan operasi presisi yang dapat menyebabkan ketidakpuasan internasional. Beberapa pihak bahkan melihat UAV sebagai "aplikasi pembunuh" yang tidak hanya mematikan tetapi juga secara fundamental mengubah aturan perang.

Meskipun operator drone tidak berada dalam bahaya fisik langsung di medan perang, mereka mengalami stres psikologis yang serupa atau bahkan lebih besar daripada tentara yang berada di garis depan. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa pesawat yang mereka kendalikan berada di atas target, secara langsung memperlihatkan "hasil" dan kehancuran selama penilaian kerusakan tempur wajib (BDA), tidak seperti tentara yang menggunakan senjata konvensional. Klaim bahwa jarak mengurangi tanggung jawab atau membuat pembunuhan sembrono tidak dibagikan oleh kru pesawat tak berawak, yang menyatakan rasa tanggung jawab dan kesadaran akan konsekuensi nyata dari tindakan mereka. Beberapa operator bahkan menunjukkan tanda-tanda kecemasan dan depresi setelah misi kekerasan. Ini membantah mitos populer tentang "videogamifikasi perang," di mana operator dianggap terlepas dari realitas konflik. Sebaliknya, hal ini menyoroti bahwa meskipun ada jarak fisik, jarak emosional dan moral tidak selalu tercipta. Operator tetaplah manusia yang memikul beban keputusan hidup dan mati, dan menyaksikan konsekuensi langsung dari tindakan mereka. Ini memiliki implikasi penting bagi kesehatan mental personel militer dan menuntut perhatian lebih pada dukungan psikologis bagi operator drone.

Isu korban sipil dan kurangnya transparansi juga menjadi sumber kontroversi besar. Korban sipil dari operasi kontraterorisme berdampak negatif pada negara tempat operasi berlangsung, memperkuat kekhawatiran tentang pelanggaran kedaulatan dan menciptakan tekanan politik bagi pemerintah setempat. Hal ini dapat memicu keluhan yang meradikalisasi populasi dan meningkatkan dukungan untuk elemen teroris, sebuah fenomena yang disebut "matematika pemberontak" (insurgent math). Tingkat korban sipil yang dilaporkan oleh pemerintah AS sangat berbeda dari hampir setiap perkiraan lain, termasuk sumber terbuka dan laporan PBB, karena kurangnya transparansi data. Sumber perbedaan ini termasuk identifikasi positif (PID) yang menantang karena musuh yang tidak teratur, salah identifikasi warga sipil sebagai kombatan (terutama kontroversi "pria usia militer" yang dihitung sebagai kombatan kecuali terbukti tidak bersalah setelah kematian), dan penilaian kerusakan pertempuran (BDA) yang tidak akurat dari pengawasan udara. Fitur khas drone sebagai platform pengawasan mematikan, di mana target diawasi dan secara bertahap berubah dari ancaman menjadi manusia sebelum dibunuh, dianggap sangat mengganggu secara moral dan merupakan "penghinaan terhadap kemanusiaan".

Masa Depan Perang Drone: Otonomi, Kecerdasan Buatan, dan Konflik Ukraina

Masa depan perang drone akan semakin didominasi oleh perkembangan menuju sistem otonom dan integrasi Kecerdasan Buatan (AI). Otonomi penuh, di mana UAS membuat keputusan dan merencanakan secara independen, belum sepenuhnya terwujud. Namun, penelitian ilmiah terus berlanjut untuk meningkatkan otonomi UMA, meskipun gagasan mereka memilih target sendiri masih dianggap "agak fantastis" karena tingkat kematangan AI saat ini untuk lingkungan yang dinamis dan kompleks.

Dalam konteks AI, definisi sempit "Soft AI" yang dapat berinteraksi dengan manusia tetapi tidak secara jelas membuat pilihan independen, berbeda dengan "Hard AI" yang dapat membuat pilihan, sering digunakan. Namun, bahkan "Soft AI" mungkin tidak selembut kedengarannya; contohnya adalah teknologi fly-by-wire pada pesawat modern, di mana komputer memediasi masukan pilot dan manuver pesawat, membatasi perintah berbahaya. Ini dianggap AI karena melibatkan pengambilan keputusan yang dapat bertentangan dengan manuver manusia demi keselamatan. Program drone Boeing baru, "Loyal Wingman" (MQ-28), bertujuan menggantikan peran wingman manusia dengan UCAV. Meskipun AI akan mengikuti perintah, peran wingman melibatkan pengambilan keputusan yang kompleks, inisiatif, dan keterampilan komunikasi, yang merupakan tantangan yang dihadapi program ini. Kelompok masyarakat sipil global yang menentang drone mematikan menetapkan ambang batas AI yang rendah (drone melakukan tugas yang sebelumnya hanya bisa dilakukan manusia), sementara militer Inggris menetapkannya sangat tinggi, mengklaim AI saat ini tidak digunakan karena drone hanya membuat pilihan terbatas dalam set target dan tidak dapat mencari target sendiri.

Pergeseran menuju otonomi AI ini menimbulkan kekhawatiran etis yang mendalam terkait "robot pembunuh." Risiko terhadap prajurit akan semakin diminimalisir, membuat penggunaan kekuatan militer menjadi lebih mudah. Hal ini dapat menciptakan ilusi bahwa perbatasan dapat dilintasi tanpa pelanggaran kedaulatan, dan pemimpin politik akan semakin enggan mencari otorisasi publik untuk perang. Perang robot menjanjikan keamanan tanpa biaya manusia, yang lebih lanjut memperkuat fenomena "perang terasing" dengan mengasingkan publik dari realitas konflik. Jika negara lain mengembangkan robot pembunuh, hal ini dapat menyebabkan dunia yang sangat tidak stabil di mana robot membunuh untuk siapa saja yang mampu membelinya, termasuk aktor non-negara, tanpa kesetiaan atau belas kasihan. Ketika bertarung bersama robot, lingkup pengambilan keputusan prajurit manusia akan terbatas, dan mereka mungkin tidak berdaya untuk mencegah malfungsi robot, salah penilaian, penggunaan kekuatan berlebihan, atau kejahatan perang. Pengalaman medan perang yang dimediasi (menonton monitor, tanpa terlihat atau mendengar penderitaan, dengan orang lain) menciptakan jarak emosional dan moral, meningkatkan risiko ketidakpedulian moral. Fitur khas drone sebagai platform pengawasan mematikan, di mana target diawasi dan secara bertahap berubah dari ancaman menjadi manusia sebelum dibunuh, dianggap sangat mengganggu secara moral dan merupakan "penghinaan terhadap kemanusiaan".

Konflik Rusia-Ukraina telah memberikan pelajaran penting tentang masa depan perang drone. Ini adalah perang drone pertama di mana dua negara menggunakan drone dalam jumlah signifikan. Drone telah terbukti mampu bertahan di lingkungan yang diperebutkan, dengan keberhasilan (misalnya, serangan Ukraina di Pangkalan Udara Engels) karena kemampuan mereka menghindari deteksi dengan terbang sangat rendah. Utilitas drone sebagai senjata ofensif utama telah matang, dengan serangan skala besar yang tidak terkoordinasi dengan sistem senjata lain. Konflik ini juga menunjukkan pergeseran cepat ke campuran "rendah/lebih rendah" dengan drone kamikaze yang murah dan dapat dihancurkan secara massal, karena kapasitas produksi domestik tidak dapat mengimbangi penggunaan.

Pergeseran dari kontrol manusia ke otonomi AI bukan hanya kemajuan teknologi, melainkan perubahan fundamental dalam siapa yang membuat keputusan hidup dan mati di medan perang. Ini menimbulkan pertanyaan mendalam tentang akuntabilitas moral dan hukum: siapa yang bertanggung jawab jika robot melakukan kejahatan perang atau salah identifikasi? Potensi proliferasi teknologi ini tanpa regulasi internasional yang kuat dapat mengarah pada perlombaan senjata yang tidak terkendali dan destabilisasi global yang parah, di mana konflik dapat dimulai dan dijalankan dengan intervensi manusia yang minimal, bahkan oleh aktor non-negara. Ini adalah seruan mendesak untuk regulasi dan debat etika yang lebih dalam.

Studi Kasus: Turki sebagai Kekuatan Drone yang Sedang Naik Daun

Turki telah muncul sebagai pemain kunci dalam lanskap perang drone global, bukan hanya sebagai produsen drone yang kuat tetapi juga sebagai pengembang konsep operasi (CONOPS) yang sukses dalam perang robotik. Drone buatan Turki terkenal karena efektivitas dan keterjangkauannya, serta persyaratan yang fleksibel dalam penjualan senjata. Rekor tempur mereka yang sukses telah berkontribusi signifikan terhadap ekspor pertahanan Turki.

Tonggak penting dalam kebangkitan Turki sebagai kekuatan drone adalah Operasi Perisai Musim Semi Turki dan Perang Karabakh Kedua Azerbaijan. Konflik-konflik ini menandai pergeseran peran UAV dari serangan kontraterorisme ke pertempuran skala yang lebih tinggi. Dalam konflik ini, solusi perang robotik Turki menunjukkan keunggulan atas senjata konvensional buatan Soviet dan Rusia. Turki juga bertindak sebagai negara transfer kapasitas, seperti yang terlihat dalam kinerja Azerbaijan di Perang Karabakh Kedua, yang meniru Operasi Perisai Musim Semi Turki dalam aspek perang dronenya.

Administrasi Turki menganggap kapasitas perang drone dan ekspor UAS bersenjata sebagai pilar strategis kapasitas nasional Turki. Melalui kontrak militer dan penjualan drone, Turki membangun ikatan strategis dengan negara lain, mengejar 'diplomasi drone' yang efektif untuk meningkatkan pengaruhnya atas konflik. Prospek masa depan industri drone Turki menunjukkan pergeseran dari sistem taktis dan MALE (Medium Altitude Long Endurance) ke solusi yang lebih canggih seperti Akinci dan Aksungur, yang mampu melaksanakan misi strategis. Jet tempur tak berawak Kizilelma (MIUS) yang akan datang diharapkan melakukan uji terbang pertamanya pada tahun 2023 dan akan kompatibel dengan kapal serbu amfibi TCG Anadolu Angkatan Laut Turki.

Kasus Turki menunjukkan bagaimana negara-negara dapat memanfaatkan inovasi pertahanan asimetris, seperti drone yang relatif terjangkau namun sangat efektif, untuk memproyeksikan kekuatan dan pengaruh geopolitik di luar kapasitas militer konvensional mereka. Model Turki, yang menggabungkan efektivitas teruji tempur dengan syarat penjualan yang fleksibel dan kemampuan transfer doktrin serta pengalaman operasional, menantang hegemoni pemasok senjata tradisional. Ini menciptakan dinamika kekuatan baru di tingkat regional dan global, menggarisbawahi pentingnya memiliki kemampuan industri pertahanan yang mandiri dan terintegrasi dengan strategi kebijakan luar negeri.

Kesimpulan: Menatap Masa Depan Perang dengan Drone

Drone telah berevolusi secara dramatis dari alat pengintai sederhana menjadi senjata presisi yang mengubah lanskap perang modern. Pertumbuhan pasar yang pesat dan proliferasi global telah mendorong adopsi drone di kalangan militer dan bahkan aktor non-negara. Meskipun drone terbukti sangat efektif sebagai pengganda kekuatan, terutama melawan musuh yang kurang canggih, mereka menghadapi tantangan signifikan dalam lingkungan yang diperebutkan, menyoroti pentingnya dominasi spektrum elektromagnetik dan dilema attritability yang memaksa fokus pada drone berbiaya rendah dan dapat dihancurkan secara massal.

Penggunaan drone menimbulkan pertanyaan hukum dan etika yang kompleks, khususnya terkait kepatuhan terhadap Hukum Humaniter Internasional. Perdebatan seputar jus ad bellum dan jus in bello menyoroti celah antara klaim presisi teknologi dan akurasi moral dalam pemilihan target serta minimisasi korban sipil. Fenomena "perang terasing" yang difasilitasi oleh drone dapat menurunkan ambang batas konflik, mendorong intervensi yang lebih sering dengan biaya politik dan manusia yang lebih rendah bagi negara agresor. Penting juga untuk diingat bahwa dampak psikologis pada operator drone, meskipun tidak di medan perang fisik, adalah nyata dan signifikan, menantang persepsi populer tentang "videogamifikasi" perang.

Masa depan perang drone akan semakin didominasi oleh sistem otonom dan Kecerdasan Buatan, yang menimbulkan kekhawatiran mendalam tentang tanggung jawab moral dan potensi destabilisasi global jika teknologi ini tidak diatur dengan baik. Konflik seperti di Ukraina menunjukkan bagaimana drone telah matang menjadi senjata ofensif utama dan bagaimana kebutuhan akan attritability akan membentuk pengadaan militer di masa depan. Studi kasus Turki menyoroti bagaimana negara dapat memanfaatkan inovasi drone untuk memproyeksikan kekuatan geopolitik dan mengubah dinamika regional.

Melihat prospek masa depan teknologi drone, perkembangan menuju drone yang lebih kecil, kawanan drone (swarms), dan kendaraan tak berawak bawah air akan terus berlanjut. Integrasi AI yang lebih dalam akan menjadi kunci, meskipun tantangan etis dan hukum tetap ada. Konflik di masa depan kemungkinan akan semakin bergantung pada kombinasi drone berbiaya rendah dan berbiaya tinggi, serta kemampuan perang elektronik.

Untuk mengatasi kompleksitas ini, beberapa rekomendasi kebijakan dapat dipertimbangkan:

  • Meningkatkan Transparansi: Perlu ada peningkatan transparansi dalam operasi drone, termasuk rilis data korban sipil yang lebih akurat dan detail tentang proses penargetan.
  • Membangun Akuntabilitas: Pembentukan badan pengawas independen, seperti "Drone Court" pasca-serangan, dapat meningkatkan akuntabilitas dan legitimasi operasi drone.
  • Kerangka Hukum Internasional: Mendesak pengembangan kerangka kerja hukum internasional yang lebih kuat dan mengikat untuk mengatur proliferasi drone dan pengembangan sistem otonom mematikan, bahkan mungkin perjanjian internasional untuk melarang robot pembunuh.[1, 1]
  • Dukungan Psikologis: Investasi dalam dukungan kesehatan mental yang komprehensif bagi operator drone sangat penting untuk mengatasi dampak psikologis yang signifikan dari pekerjaan mereka.

Dengan memahami evolusi, dampak, dan dilema yang ditimbulkan oleh drone, komunitas internasional dapat lebih siap menghadapi tantangan dan peluang yang disajikan oleh teknologi yang mengubah perang ini.